Sabtu, 28 Desember 2013
Kisah SERI TELADAN HUMOR SUFISTIK BERBOHONG ITU NIKMAT
SERI TELADAN HUMOR SUFISTIK
BERBOHONG ITU NIKMAT
“ Dan jika kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaknya kamu menghukum dengan adil.”
( Alquran-An-Nisa: 58)
Dikisahkan kalau khalifah Mansyur telah memutuskan untuk mengangkat salah seorang dari empat syekh sufi untuk menduduki jabatan Hakim Agung kerajaan. Oleh karena itu keempat orang syekh diundang ke istana untuk dimintai kesanggupannya. Keempat syekh itu adalah : Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Misar, dan Syuraih. Sebelum mereka tiba di istana, mereka telah membuat rencana tersendiri.
Abu Hanifah salah seorang dari empat ulama ahli hukum, berkata, “Aku akan lari dari kedudukan tersebut dengan pengelakkan. Misar akan berpura-pura gila. Sufyan akan melarikan diri dan aku perkirakan Syuraih lah yang akan menjadi hakim.”
Benar, Sufyan mengikuti rencana itu. Ia pergi dan menghilang entah kemana. Dia kemudian dinyatakan buron dan terhukum karena dinilai tidak setia pada khalifah. Maka tinggal tiga orang menghadap khlaifah.
Yang pertama, khalifah Mansyur berkata kepada Abu Hanifah,” Engkau akan aku tunjuk menjadi hakim.”
Abu Hanifah menjawab,” Wahai pemimpin umat, akan tidak mungkin itu bagiku. Aku bukan keturunan Arab, dan karena itulah aku tidak akan bisa diterima oleh orang-orang Arab.”
Kahalifah menjawab, “ Ini tidak ada kaitannya dengan darah dan keturunan. Kita membutuhkan seorang tokoh yang dapat menjadi contoh. Dan engkau seorang ulama dan ahli hukum yang paling dihormati saat ini.”
Abu Hanifah bersikeras menolak, “ jika kata-kataku benar, aku tidak bisa menjadi hakim. Dan jika mereka salah, aku tidak pantas menduduki jabatan itu. Karena itu, aku tidak memenuhi persyaratan.”
Lalu Abu Hanifah menjelaskan alasan penolakan itu hingga akhirnya baginda khalifah pun menerima alasan keberatannya.
Sementara itu Misar, tidak suka dengan kedudukan. Dia kemudian mendekati khalifah seraya menangis dan mencium tangannya, seraya berkata,” Apakah engkau baik-baik saja? Engkau dan si kecil dan juga ternakmu?”
“ Seret dia dari pandangan saya!” teriak khalifaah, “ Dia benar-benar sudah gila,” bentak khalifah, marah.
Akhirnya tinggal giliran Syuraih, yang berpura-pura sakit. Tapi sial, muslihatnya gagal karena khalifah Mansyur mmalah menyuruh para pembantunya mencari tabib untuk mengobatinya. Maka jadilah Syuraih seorang Hakim yang Agung.
Things to Think .......???????
Ada apa dengan profesi menjadi hakim ?Kenapa mereka menjauh jabatan tersebut ? Bukan kah jabatan hakimdi negeri kita banyak di perlukan orang?
kita jadi teringat dengan kasus yang mencuat menyinggung soal jaksa Agung yang kekayaannya berlimpah ruah. Harga salah satu rumahnya mencapai 1,6 Milyar. Disebuah media massa di tuliskan kalau keuangannya di pasok oleah salah seorang makelar perkara. Makelar mirip dengan peradilan agama. mereka melakukan jual beli perkara dengan para hakim dan jaksa untuk dapat menenagkan/ mengalahkan perkara itu di peradilan. Sehingga masyarakat dapat meraskan tidak adanya keadilan, kepastian dan kekuatan hukum. Hukum hanya main-main saja. Kasasi, banding, grasi adalah dagelan hukum ala Indonesia hingga era presiden yang sekarang. Jika keadilan jadi komoditi yang di perjualbelikan, maka terjadi kerusakan moral dan kerugian yang di derita Negara. Sehingga kasus hukum menyangkut para pejabat, konglomerat, dan oraang kaya tidak pernah selesai. Huku tegas berkenaan dengan kasus yang menimpa orang kecil. Sehingga berkembang ungkapan Hukum di indoneisa hanya milik orang-orang berduit.
Orang yang mengemplang (menggelapkan) uang Negara triliyunan rupiah dapat lolos dengan menyuap mafia peradilan milyaran rupiah. Akibat Negara harus di rugikan dan rakyat harus menanggungnya. Semboyan para hakim menyatakan” Langit hukum harus ditegakkan meski besok pagi akan runtuh ” hanyalah selogan kosong. Logo dan ikon lembaga kehakiman yang di tandai dengan wanita dengan mata tertutup di India wanita itu hanya mengenakan selembar kain yang menutup harga dirinya, dan memegang timbangan pada tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ternyata tak bertuah.
Ikon yang mengandung pesan tidak pandang bulu, dan tebas habis yang salah, tidak dapat ditegakkan kerna uang telah membuka tutup matanya, dan pedangnya tumpul karena terantuk uang menyedihkan.
Taufik ismali dalam puisinya yang berjudul “Aku Malu Jadi Orang Indonesia” menagtakan : “ Langit dan sendi akhlak di negeri ini sudah berserak-serak, sudah runtuh, tidak ada lagi.” Karena korupsi sudah menjadi kanker menjalar di semua liku kehidupan. Bahkan, maaf menurut salah seorang mubaligh dikatakan, disebuah departemen mesti menjadi contoh karena banyak “santri “nya korupsinnya tidak ketulungan ( baca teramat: banyak parah). Lalu kepada siapa bila para hakim tidak dapat lagi diandalkan menjadi soko guru dan tiang penyanggah tegaknya keadilan?
Jawabanya tentu ada pada diri kita, pada keluarga ita, pada lingkungan kita. Artinya gerakan sadar moral dan hkum harus di mulai dari diri kita, tanpa harus mengharap orang lain. Jadi mirip dengan ungkapan Rasulullah SAW,” Ibda’binafsik, mulailah dengan diri anda sendiri.
Hukum sebagai pilar utama untuk membangun Negara yang demokratis adalah sebuah keharusan. A.Dicey mengatakan, “ Negara demokratis akan tegak bila ada kepastian hukum, peradilan yang indenpenden, pembagian kekuasaan, dan prosedur penyelesaian masalah yang fair.”
Para hakim adalah orang yang menjaga tegaknya moral, sehingga mereka haruslah orang-orang yang bersih tidak terlibat kasus suap, briber atau Riswah. “ Nabi bersabda, para penyuap dan yang menyuap tempatnya adalah di neraka.”
Di ceriatakan oleh M. Gibbon, sejarawan yang menulis buku “ The Decline and The Fall Of Rome,” menagatakan apa sih kurang hebatnya romawi ? sebuah negeri dengan imperium yang sanagt kuat. Tapi kenapa hancur ? Tentang hukum, bukankah negeri ini paling pintar membuat hukum ? bahkan hukum modern barat banyak diwarisi oleh kekayaan (legacy) hukum Romawi.”
“ Tapi,” kata Gibbon, “yang membuat hancur Romawi adalah hukum yang tidak di patuhi, hukum yang dipermainkan. Hukum yang dijadikan komoditi. Hukum yang diperjualbelikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan cerita tersebut dapat diambil kesimpilan bahwa dalam menjadi hakim merupakan tanggung jawab yang berat yang harus dikerjakan dengan benar dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi. Sehingga ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan pendidikanyaitu :
• Jabatan menjadi hakim adalah amanat yang berat, karena menyangkut masalah memutuskan perkara.
• Bila saja ia membuat sebuah kesalahan dalam memutuskan perkara, maka yang terjadi adalah tindak kezaliman kepada yang di rugikan.
• Barang siapa merugikan orang lain sesungguhnya dia sedang memasukkan api neraka kedalam perutnya.
• Para hakim haruslah berusaha menjadi contoh dan teladan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran di Negara ini. Jabatan yang di pangkunya hendaknya dimanfaatkan sebagai sarana pengabdian dan ibadah, karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman, Tasirun, Seri Teladan Humor Sufistik; Berbohong itu Nikmat, Jakarta: Erlangga,2005.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar