Tugas Mandiri
Dinamika Tarikh Tasyri’ Masa Imam
Mazhab Imam Hanafi
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tarikh Tasrik
DOSEN
PENGAMPU
ABD
SYAHID,S.Pd.I.M.Pd.I.
Disusun
Nama Aminuddin
Nim 1209.11.06 294.
Lokal B
Semester IV
Prody PAI
Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI)
Auliaurrasyidin
Tembilahan
2013
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah....................................................................... 1
B.Rumusan
Masalah................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.Imam Hanafi........................................................................................ 2
B. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi............................ 4
C. Sumber
– Sumber Imam Hanafi......................................................... 6
BAB
III PENUTUP
A.Kesimpulan.......................................................................................... 9
Daftar Pustaka
KATA
PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt.Karena berkat rahmat dan hidayahnyalah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan tugas dalam bentuk
makalah yang membahas dengan mata kuliah
Tarikh Tasrik dengan judul Dinamika Tarikh Tasyri’ Masa Imam
Mazhab Imam Hanafi.
Tugas
Pribadi ini
penulis susun berdasarkan buku-buku yang menyangkut
dengan hal-hal tersebut di atas.Semoga Tugas Mandiri ini dapat memberikan sumbangan dalam peroses belajar
mengajar.
Dan dapat membantu proses belajar mengajar kita dalam meningkatkan
pemahaman agama dan memperdalam ilmu pengetahuan yang bersipat mendidik dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang masalah
Adapun yang menjadi perumasan para mujtahid dalam menetapkan suatu permasalahan
hukum mereka melalui jalan yang masuk akal dan sesuai dengan ayat Al-Qur’an,dan
begitu juga para mazhab mazhab dalam merumuskan suatu permalahan yang berkaitan
dengan hukum yang berlaku.
B.Rumusan Masalah
Ø Bagaimana para Imam mazhab dalam menetapkan suatu permasalahah dalam
menetapkan hukum?.
Ø Apa apa saja permasalahan yang dibahas oleh para imam mazhab ?.
BAB II
PEMBAHAHASAN
Dinamika Tarikh Tasyri’ Masa Imam
Mazhab Imam Hanafi
A. Imam
Hanafi
Biografi
Imam Hanafi (80 – 150 H /
699-767 M)
Imam Hanafi
atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah
Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup
dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir
pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman
kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau
meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.[1]
Beliau hidup
selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama
hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu
Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut
riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah
kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong
atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu
Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah
menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali
(Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika
Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid,
Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi
Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.[2]
Ketika Yazid
ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu
Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia
menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun,
atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan
pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah
pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan
Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak
berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan
terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al – Manshur terhadap
Al – Nasf, Al – Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik
Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al
– Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya
ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya
dalam tahanan.[3]
Guru dan Murid Imam Hanafi
Imam hanafi
adalah sorang imam yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu beliau belajar
kepada hammad bin abbas sulaiman dan bliaupun belajar kepada para-para tabi’in
seperti atha bin abi rabahdan nafi’maulana ibnu umar.
Adapun yang menjadi murid-muridnya
antara lain.
Abu Yusuf bin Ibrahim
Zufar bin Huzail
Muhammad bin Hasan
Murid imam
Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah :
Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan
lain-lain.[4]
B.Dinamika
Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas
anjuran Al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih
kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari
bertalian dengan keagamaan. Mula – mula ia mempelajari hukum agama, kemudian
ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan
arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari
ilmu fiqh yang mengandung berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan
masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia
banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam
penerapan tarikh tasyri’, diantaranya.
Bahwa benda
wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah
(pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual,
diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk
masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif
telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya.
“ Nabi Muhammad SAW telah menjual
benda wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
Pada
awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan
ibadah haji bersama Harun al – Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah)
’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual,
diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits
Bukhari (Lihat Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf
berpedapat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia
berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan
mengubah pendapatnya”. (Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
Bahwa
Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara
perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi
pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu,
menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata. Dengan
demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
Abu Hanifah
dan Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan dilakukan
dua rakaat sebagaimana sholat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu
rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula
menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami
situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani
Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda
antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat
luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat
gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat
bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
C.Sumber – Sumber Imam Hanafi
Ulama
Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar
al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum madzhab hanafi
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
sahabat
4. Pendapat
sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. ‘Urf
Al-Quran,
Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab
hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika
hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika
tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah,
imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan masyhur.
Pendapat
para sahabat, imamhanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan
pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab
hanafi.
Qiyas
(Deduksi Analogis)
Konsep yang
di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari
para tabi’in atau dari muritnya sahabat, dia memandang bahwa dirianya setara
dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya
sendiri.
Istihsan
(Preperensi)
Istihsan
sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang, walupun bukti yang
dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
‘Urf
(Tradisi Lokal)
Tradisi
lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang
mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam
budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
D.Metode dan
Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad
yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang
digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran
individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas
desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan
dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir
Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara
Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya
yang pokok dapat diringkas sebagai berikut
“Aku (Abu
Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada
dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih
yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al
Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat
Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku
tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain.
Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang
lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl
Al Ulwani,1987:91)[5]
Sedangkan cara berijtihad Abu
Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
Ø Bahwa
Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash.
Ø Bahwa
pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
Ø bahwa
banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
Ø adanya
penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
Ø bahwa
apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya, bukan riwayatnya,
Ø mendahulukan
Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
Ø menggunakan
Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Langkah
ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh,
saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya
mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan
ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak
keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah
diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin,
dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah
berijtihad.[6]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Imam Hanafi
atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah
Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup
dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir
pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman
kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau
meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Sumber-sumber hukum madzhab hanafi
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
sahabat
4. Pendapat
sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. ‘Urf
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.
Hasan. Perbandingan Mazhab. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995)
Ameanah, Abu
Bilah Philip.Asal-Usus dan
Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa Media, 2005)
Tahido
Yanggo, Huzaemah, Pengantar
Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Mubarok,
Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003)
Al-Jamal, Hasan. Biografi 10 imam Besar.
(Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
Al Mansur,
Asep Saifuddin. Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. (Jakarta: pustaka
Al-Husna, 1984)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar