Sabtu, 15 Februari 2014

PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG KERANCUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah). Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman. Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. B. Rumusan Masalah 1. Pandangan Al-Ghazali Tentang Filsafat 2. Pandangan Al-Ghazali Tentang Filosofis 3. Pokok Perdebatan Al-Ghazali dan Kerancuan Berpikir Filosofis BAB II PEMBAHASAN PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG KERANCUAN BERFIKIR PARA FILOSOF A.Pandangan Al-Ghazali Terhadap Filsafat Adapun mengenai pandangan Al-ghazali,para ilmuan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, Karena ia menentang dan menerangi filsafat dan membuangnya.Tantangan yang dilontarkan Al-ghazali ini sicerminkan dari bukuny yang berjudul : Tahauf Al-falasifah,yakni sebagai berikut : ” Sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti socrates,Epicurus,plato,Aristoteles dan lain-lainya. “Mereka mendengar prilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi. Mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan. Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof ? Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu. Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan. Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta. Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan. Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan: 1. Filosof materialis (Dhariyyun) Mereka adalah filosof yang menyangkal adanya tuhan 2. Filosof naturalis (Thabi’iyyun) Mereka adlah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian dialam melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian,mereka tetap mengingat Allah dan Rasulnya dan hari terbangkit.Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan. 3. Filosof Ke Tuhanan (Ilahiyun) Mereka adalah filosof Yunani, Seperti,Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam. Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, Antara lain : a. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali, Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal b. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya, c. Menjelakan kelemahan mereka dalam membuktikan yang maha pencipta. d. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan. e. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat. f. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl, g. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat), h. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya, i. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir j. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya k. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, l. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat, m. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya, n. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet, o. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat, p. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam, q. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh, r. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia, s. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada hal- hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain : 1. Alam semesta dan semua subtansi qadim Para filosof muslim dikala itu mengataka bahwa alam itu qadim Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. 2. Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya. Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.Dalilnya وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61) Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular.) B. Pandangan Al-Ghazali tentang filosofis Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam. C. Pokok Perdebatan Al-Ghazali dan Keracuan berfikir filosofis Dasar pengetahuan terakhir yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menerima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor Suliaman Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd. Adapun percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:  Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau  Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta. Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, . Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi. B. Saran Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak yang kekurangan, untuk itu, bagi teman-teman yang ingin memberikan saran dan kritiknya, kami siap menerima. DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati). Surabaya: Terbit Terang Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Al-Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang, A. Mustofa. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam Konsep Filosof dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia Poerwantana, dkk. 1988 . Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: CV ROSDA Zar, Sirajuddin. 2004 . Filsafat Islam filosof dan filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karna segala nikmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan dan keselamatan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari alam kebodohan menjadi alam yang terang dan benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu dalam mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam. Makalah ini berjudul PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG KERANCUAN BERPIKIR FILSUF Penulis menyadari bahwa didalam makalah pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan,baik dari segi penulisan ataupun isi, maka dari itu kami mohon maaf dan diberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah kami untuk kedepannya. Semoga pokok pembahasan makalah yang di bahas ini dapat diterima dan dimengerti serta dapat memberikan pengetahuan pada kita semua, dan semoga dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami kurikulum yang ada saat ini. Amiin Akhirnya penulis ucapkan terimakasih…. Tembilahan, Desember 2013 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHLUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pendapat Al-Ghazali Tentang Filsafat 3 B. Pendapat Al-Ghazali Tentang Filosofis C. Pokok Perdebatan Al-Ghazali dan Kerancuan Berpikir Filosofis BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran dan Kritik DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG KERANCUAN BERPIKIR FILSUF (Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mandiri Pada Mata Kuliah Ilmu Kalam dan Tasawuf) DOSEN PENGAMPU : ARIFIN S. Ag.ma OLEH MARYANA NIM : 1209 11 06302 MAHASISWA SEMESTER V/B PAI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN T.A 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar