IFTA’
1. Pengertian dan Ketentuan Ifta’
Secara etimologi kata iftâ’ (افـتـاء)
terambil dari akar kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء” yang berarti memberi penjelasan, memberi
jawaban dan atau berarti memberi fatwa.iftâ’ itu pada intinya adalah
usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan iftâ’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
2. Mufti
Artinya orang yang memberikan
jawaban atas pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang
memberikan fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya
adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu
yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan
seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat
seorang mufti, sebagai berikut ini.
1) Seorang Mufti itu
hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti tidak
memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2) Mufti hendaklah seorang
yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan, wibawa dan tenang.
3) Mufti hendaklah seorang
yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan menghadapi persoalan yang akan
dikeluarkan fatwanya
4) Memiliki ilmu yang cukup
5)Mengenal keadaan dan lingkungan
atau kondisi sosiologis masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum, ulama ushul
fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar
fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah.
(1) baligh, berakal dan merdeka
(2) adil; dan
(3)memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan
fatwa.
Berdasarkan persyaratan ini seorang mufti tidak harus seorang laki-laki.
Wanita pun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.
3. Mustafti’
Mustafti’ adalah individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa. Sebagaimana seorang pemberi fatwa (mufti) harus terpenuhi
padanya sejumlah syarat dan adab, maka peminta fatwa (mustafti) juga ada
beberapa adab yang harus dipenuhi. Di antara adab dimaksud adalah sebagai
berikut
1)
Mustafti harus merupakan orang atau
pihak yang tidak mempunyai kemampuan untuk menetapkan fatwa sendiri. Bagi orang
atau pihak yang masuk klasifikasi ini apabila mengalami atau menghadapi suatu
permasalahan yang membutuhkan jawaban hukum secara syar’i, maka wajib baginya
untuk menanyakan kepada seseorang atau lembaga yang mempunyai kapasitas dan
kompetensi untuk mengeluarkan fatwa terhadap masalah tersebut.
2)
Mustafti harus meneliti terlebih
dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintai fatwa benar-benar mempunyai
kompetensi untuk menetapkan fatwa. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya
pemberian fatwa yang tidak dilandasi oleh dalil-dalil dan argumentasi yang
jelas.
3)
Mustafti tidak harus mengetahui
bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut madzhab tertentu. Cukup
baginya untuk menjadikan fatwa yang ada menjadi landasan untuk melaksanakan
aktifitasnya
4) Mustafti apabila mendapati adanya
fatwa yang berbeda dari dua mufti atau lembaga, maka baginya untuk mendahulukan
fatwa dari seseorang atau lembaga yang secara luas diakui lebih berkompeten
dalam mengeluarkan fatwa.
5) Mustafti apabila hanya mendapati
satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada
orang atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi untukberfatwa, maka dirinya
terikat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.
6)Jika mustafti mendapati
permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka terdapat perbedaan di
antara para ulama. Pertama, ada yang mengatakan harus meminta fatwa baru lagi,
dengan alasan bahwa boleh jadi pendapat mufti, baik perorangan atau lembaga,
akan berubah seiring dengan perubahan kondisi dan zaman. Sedangkan pendapat
kedua menyatakan tidak harus baginya untuk menanyakan fatwanya lagi, dengan
alasan bahwa fatwa terhadap masalah tersebut telah ditetapkan, sehingga cukup
baginya untuk merujuk fatwa yang telah ada.
7)Mustafti sebaiknya datang sendiri
secara langsung kepada mufti. Apabila terpaksa diwakilkan kepada perantara maka
sebaiknya ia langsung mencermati teks fatwanya, bukan keterangan perantara
tersebut, karena dikhawatirkan keterangan dari perantara tersebut berbeda
dengan maksud dari fatwa yang sebenarnya.
8) Mustafti seyogyanya berprasangka
baik dan berperilaku baik kepada mufti.
9) Mustafti seyogyanya tidak
menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil dan argumentasi hukum dalam fatwa
yang dikeluarkannya.
10)Jika mustafti tidak menemukan
mufti di daerahnya ataupun di daerah lain, sedangkan tidak ada cara lain untuk
mengakses pendapat mufti lain dan ia tidak mempunyai kemampuan untuk mencari
hukum sendiri dalam kitab-kitab fiqih, maka bagi orang atau pihak yang seperti
ini dihukumi seperti orang atau pihak yang belum mendapatkan petunjuk sehingga
dalam masalah ini ia tidak terkena taklif, dengan artian boleh baginya untuk
menjalankan aktifitasnya sesuai ketetapan hatinya.
Daftar Pustaka
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ushul-fiqh-talfiq-dan-ifta/ diakses pada tanggal 29 november
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar