Jumat, 07 Desember 2012

IFTA’



IFTA’

1. Pengertian dan Ketentuan Ifta’
Secara etimologi kata iftâ’ (افـتـاء) terambil dari akar kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء” yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa.iftâ’ itu pada intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

2. Mufti
Artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang memberikan fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.
1) Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2) Mufti hendaklah seorang yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan, wibawa dan tenang.
3) Mufti hendaklah seorang yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan menghadapi persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya
4) Memiliki ilmu yang cukup
5)Mengenal keadaan dan lingkungan atau kondisi sosiologis masyarakatnya.

Akan tetapi secara umum, ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah.
(1) baligh, berakal dan merdeka
(2) adil; dan
(3)memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki       kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.

      Berdasarkan persyaratan ini  seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanita pun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.
3. Mustafti’
   Mustafti’ adalah individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa. Sebagaimana seorang pemberi fatwa (mufti) harus terpenuhi padanya sejumlah syarat dan adab, maka peminta fatwa (mustafti) juga ada beberapa adab yang harus dipenuhi. Di antara adab dimaksud adalah sebagai berikut

1)    Mustafti harus merupakan orang atau pihak yang tidak mempunyai kemampuan untuk menetapkan fatwa sendiri. Bagi orang atau pihak yang masuk klasifikasi ini apabila mengalami atau menghadapi suatu permasalahan yang membutuhkan jawaban hukum secara syar’i, maka wajib baginya untuk menanyakan kepada seseorang atau lembaga yang mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk mengeluarkan fatwa terhadap masalah tersebut.

2)    Mustafti harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintai fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapkan fatwa. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya pemberian fatwa yang tidak dilandasi oleh dalil-dalil dan argumentasi yang jelas.


3)    Mustafti tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut madzhab tertentu. Cukup baginya untuk menjadikan fatwa yang ada menjadi landasan untuk melaksanakan aktifitasnya

4) Mustafti apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau lembaga, maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau lembaga yang secara luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan fatwa.

5) Mustafti apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi untukberfatwa, maka dirinya terikat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.
6)Jika mustafti mendapati permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka terdapat perbedaan di antara para ulama. Pertama, ada yang mengatakan harus meminta fatwa baru lagi, dengan alasan bahwa boleh jadi pendapat mufti, baik perorangan atau lembaga, akan berubah seiring dengan perubahan kondisi dan zaman. Sedangkan pendapat kedua menyatakan tidak harus baginya untuk menanyakan fatwanya lagi, dengan alasan bahwa fatwa terhadap masalah tersebut telah ditetapkan, sehingga cukup baginya untuk merujuk fatwa yang telah ada.

7)Mustafti sebaiknya datang sendiri secara langsung kepada mufti. Apabila terpaksa diwakilkan kepada perantara maka sebaiknya ia langsung mencermati teks fatwanya, bukan keterangan perantara tersebut, karena dikhawatirkan keterangan dari perantara tersebut berbeda dengan maksud dari fatwa yang sebenarnya.

8) Mustafti seyogyanya berprasangka baik dan berperilaku baik kepada mufti.

9) Mustafti seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil dan argumentasi hukum dalam fatwa yang dikeluarkannya.

10)Jika mustafti tidak menemukan mufti di daerahnya ataupun di daerah lain, sedangkan tidak ada cara lain untuk mengakses pendapat mufti lain dan ia tidak mempunyai kemampuan untuk mencari hukum sendiri dalam kitab-kitab fiqih, maka bagi orang atau pihak yang seperti ini dihukumi seperti orang atau pihak yang belum mendapatkan petunjuk sehingga dalam masalah ini ia tidak terkena taklif, dengan artian boleh baginya untuk menjalankan aktifitasnya sesuai ketetapan hatinya.


















Daftar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar