BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Al qur’an dan Sunnah merupakan
pegangan pokok umat islam dalam segala hal. Al qur’an menjawab pertanyaan dalam
segala bidang, Al-Qur’an
berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala
urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh
Allah. Sementara itu Sunnah berfungsi sebagai bayan tafsili terhadap ayat –
ayat Al qur’an yang bersifat mujmal dan mutasyabih.
Al qur’aan dan Sunnah keduanya
sebagai sumber hukum islam yang bersifat Skunder dimana Al qur’an dan Sunnah
mampu menjawab berbagai macam problematika dalam kehidupan umat Islam, baik
disegi hukum, ekonomi, dan sosial.
Seluruh ulama baik salaf dan khalaf
sepakat bahwa Al qura’an dan Sunnah merupakan sumber hukum islam yang skunder
dan tidak ada lagi pertentangan sedikit pun mengenai hal tersebut.
Bertitik ttolak dari pernyataan
diatas maka dalam makalah kami yang sederhana ini akan disajikan Sumber hukum
Islam yang disepakati yaitu Al qur’an dan Sunnah.
B.Rumusan
Masalah
Ø Apakah yang
dimksud dengan Al quran ?.
Ø Bagaiman kedudukan Alqur’ an sebagai hukum Islam ?.
Ø Hukum – hukum apa saja yng terdapat dalam Al qur’an ?
Ø Apa yang dimaksd dengan Assunnah ?.
Ø Bagaimana hubungan As sunnah dengan Al qur’an ?.
Ø Apa fungsi As sunnah terhadap Al qur’an ?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Dalil
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema
kajian yang utama, yakni (1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil dan (2)
menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak
dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil
menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya,
dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi)
maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama
ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu yang
dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar
mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para
Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.
- Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
- Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran
dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil
selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau,
ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah
merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau
dengan jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran.
B. Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat
dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil
(al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati.
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir
(Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil
terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari
Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam
Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari
tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang
disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
C.Al-Qur’an
1. Definisi
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran
berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a,
qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu
ucapan yang tersusun rapih. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan
sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan
Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada
malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat
ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan
kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya
dihukumkan sebagai suatu ibadah.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber
Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim
atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah
sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim
kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol
dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum
Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem
kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial,
ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan
oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an
meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat
dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan
zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap
waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa
yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu
sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah
negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi
atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia
adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad
dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan
ibadah yang sah”.
Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada
3 macam yaitu:
Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah.
Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni,
tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang
tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni,
yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang
ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri
atas dua macam, yakni:
1)Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji
dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur
hubungan hamba dengan Tuhan.
2)Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam
perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum
pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan
tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’
disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat
Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum
Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah
terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga
tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum
ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan
lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat
dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat),
perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi
dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil
hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar
yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena
hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya
memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa
setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan
melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
D.As-Sunnah
Definisi
As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan),
fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai
dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah
itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan
dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan.
(HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan
memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada
dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah
Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan
cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan
sebagainya.
3)Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan
sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak
diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik.
Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sen
Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber
ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits,
juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat
menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun
demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan
qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan
ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti)
yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan
bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang
disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum
wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati
sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana
diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab:
36.
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan
penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran,
As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas
bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman
Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi
As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.
1.As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid
(penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai
2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2.As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3.takhshish (pengkhusus)
dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal
(global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak
terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya,
kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya,
perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw
bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.”
(HR. Bukhari)
BAB III
PENUTUP
A Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini
makadapat kami simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang disepakati dan ada juga
yang tidak disepakati. Hukum islam yang disepakati itu ada Dua yaitu :
Al-qur’an, Sunnah. Dari segi bahasa
Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari
lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti
“mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Sedangkan secara istilah al-Qur’an
ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf
yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada
keraguan.
As-Sunnah atau al-hadits adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan),
fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai
dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
.
B.Saran
Dengan adanya pemahaman Al qur’an dan assunnah yang
baik dapat menjadi pegangan hidup bagi kita mahasiswa dan dapat mengambil
ikhtibar yang baik. Amin.........
Daftar Pustaka
Abdul Wahab
Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Abdullah,
sulaiman. 1995.( Sumber Hukum Islam. Jambi) Sinar Grafika.
Bakry Nazar.
2003.( Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta) : PT.Raja Grafindo Persada..
HTTP//WWW.COM, Sumber hukum islam . diakses pada 04 oktober 2012.