Sabtu, 28 Desember 2013

TRADISI PESANTREN DALAM TANTANGAN ARUS GLOBALISASI

TRADISI PESANTREN DALAM TANTANGAN ARUS GLOBALISASI “diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam" Disusun Oleh Kelompok 3 Aminudin Dosen pengampu WAHYUDIN, S.Ag, M.Ag. PROGRA STUDI (S.1) PAI STAI AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN T/A 2012-2013 BAB I PENDAHULUAN TRADISI PESANTREN DALAM TANTANGAN ARUS GOBALOSASI A. Latar belakang Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam tertua di indonesia. Ia memiliki hubungan fongsional simbiotik dengan ajaran islam. Yaitu, dari satu sisi keberadaan pesantren diwarnai oleh corak dan dinamika ajaran islam yang dianut oleh para pendiri dan kiai pesantren yang mengasuhnya, sedangkan pada sisi lain, ia menjadi jembatan utama (main bridger) bagi proses internalisasi dan tranmisi ajaran islam kepada masyarakat. memalui pesantrenlah agama islam menjadi membumi dan mewarnai seluruh aspek kehidupan masyrakat, sosial, keagamaan,hukum, politik, pendidikan, lingkungan, danlain sebagainya. Dari sejak didirikannya pada abad ke-16 hingga saat ini pesantren tetap eksis dan memainkan perannya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat indonesia yang islam. Melalui tradisi yang unik dan berbasis religiusitas ajaran islam, serta kiprah para lulusannya yang tampil sebagai tokoh Nasional yang kharismatik dan kredibel, pesantren semakin dihormati dan diperhitungkan, dan karena ia telah diintegrasikan kedalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas) Eksistensi dan peran strategis pesantren sebagaimana tersebut diatas kini dihadapkan pada tantangan baru sebagai akibat dari arus globalisasi. Tantangan tersebut antara lain 1. Adanya penggunaan sains dan teknilogi dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi lahirnya pola komunikasi, interaksi, sistem pelayanan publik, dan pelaksanaan barbagai kegiatan. 2. Masuknya nilai-nilai budaya modern (barat) yang bercorak materialistik, hedonistik, dan sakularistik yang menjadi penyebab terjadinya dekadensi moral. 3. Interdepedensi (kesaling ketergantungan) antara negara yang menyebabkan terjadinya dominasi dan hegemoni negara kuat atas negara yang lemah. 4. Meningkatnya tuntutan publik untuk mendapatkan perlakuan yang semakin adil, demokratis, egaliter, cepat dan tepat yang menyebabkan terjadinya fragmentasi politik 5. Adanya kebijakan pasar bebas (free market) yang memasukkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan yang selanjutnya berpengaruh terhadap visi, misi dan tujuan pendidikan beserta komponen lainnya. B. Rumusan masalah Dari permasalahan diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Akan sanggupkah dunia pesantren menghadapi tantangan arus globalisasi tersebut? 2. Seberapa jauh tradisi pesantren yang menjadi ikon dan kekuatannya mampu menghadapi tantangan arus globalisasi tersebut? 3. Bagaimanakah format dunia pesantren dalam menghadapi tantangan arus globalisasi tersebut? BAB II PEMBAHASAN A. TRADISI PESANTREN Kata tradisi berasal dari bahasa Ingris, tradition yang berarti tradisi. Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun menurun dari nenk moyang hingga anak cucu. Kata adat tersebut berasal dari bahasa Arab, jamaknya ‘waid yang artinya habid (kebiasaan). Sedangkan kata pesantren berasal dari kata pesantrian, yang berarti asrama dan tempat murd-murid belajar mengaji. Dalam pengertian yang umum digunakan, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang didalamanya terdapat pondokan atau tempat tinggal kiai, santri, mesjid dan kitab kuning. Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tradisi pesantren adalah segala sesauatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren sebagaimana tersebut diatas. Tradisi yang ada dipesantren antara lain tradisi rihlah ilmiah, meneliti, menulis kitab kuning, praktek thariqat, menulis buku, menghafal, berpolitik, dan tradisi yang bersifat sosial keagamaan lainya. Beberapa tradisi ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tradisi Rihlah Ilmiah Rihlah ilmiah secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam arti yang biasa dipahami Rihlah ilmiah, adalah melakukan perjalanan dari suatu daerah kedaerah lain, atau dari satu negara kenegara lain, baik dekat maupun jauh, dan terkadang bermukim dalam waktu cukup lama bahkan tidak kembali kedaerah asal, dengan tujuan utama mencari, menimba, memperdalam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab. 2. Tradisi Menulis Buku Menulis buku merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren. Beberapa ulama pimpinan yang produktif dalam menulis Buku diantaranya Nawawi al-Batani misalnya menulis lebih dari 100 judul kitab yang terbagi kedalam 9 bidang ilmu agama, yaitu tafsir, fiqh, usul al-din, ilmu tauhid (teologi), taswuf (mistisisme), kehidupan Nabi, tata bahasa Arab, hadits dan akhlak (ajaran moral islam) 3. Tradisi Meneliti Dilihat dari segi sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali dan ’irfani. Penelitian bayani adalah penelitian yang berkaitan dengan kandungan Alqur’an al Sunnah dengan bekal penguasaan bahasa Arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu hadits dan berbagai cabangnya. Penelitian burhani adalah penelitian yang berkaitan dengan fenomena sosial dengan bekal etodologi penelitian sosial, bahasa dan ilmu bantu lainya. Penelitan ijbari berkaitan dengan fenomena alam fisik jagat raya dengan menggunakan eksperimen atau percobaan dilaboratorium. Penelitian ini menghasilkan sains. Penelitian jadali berkaitan dengan upaya memahami berbagai makna dan hakikat segala sesuatu dengan jalan menggunakan akal secara spekulatif, sistematik, radikal, universal, dan mendalam. Sedangkan penelitian irfani adalah penelitian yang berkaitan dengan upaya mendapatkan ilmu secara langsung dengan menggunaan kekuatan intuisi (instinct batin) yang dibersihkan dengan cara mengendalikan hawa nafsu, menjalankan ibadah ritual, zikir, kontemplasi, wirid, dan sebagainya dan hasilnya adalah tasawuf. 4. Tradisi Membaca Kitab Kuning Seorang peneliti asal belanda, Martin van Bruinessen, telah menunjukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca kitab kuning dipesantren. Melalui bukunya yang berjudul yellow book (buku kuning), Bruinessen mengimpormasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai sebagaimana tersebut diatas, khususnya karya Nawawi al-Batani dan Mahfudz al-tirmasi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari dipesantren-pesantren dipulau jawa dan sekitarnya. 5. Tradisi Berbahasa Arab Seiring dengan adanya tradisi penulisan kitab-kitab oleh para kiai sebagaimana tersebut diatas dengan menggunakan bahasa arab, maka dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi berbahasa arab yang kuat dikalangan pesantren. Hal ini didasarkan pada perasaan yang kuat, bahwa bahasa arab memiliki pengaruh psikologis yang kuat dalam kaitannya dengan membangun moralitas dan perasaan keagamaan (relegiousity). Mereka mengetahui bahwa alqur’an dan al sunnah ditulis dengan bahasa arab. Dengan bahasa arab pula digunakan ketika sholat dan berdo’a. 6. Tradisi Mengamalkan Thariqat Dari berbagai sumber yang ada, masyarakat salafiah yang dibangun oleh dunia pesantren itu mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara akhlak dan taqwa. Dalam hal ini tasawuf tidak bisa terpisahkan dari keselruhan agama. Bahkan jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah inti keagamaan yang bersifat esoteris. Dari sudut ini, maka ilmu tasawuf tidak lain adalah penjabaran secara nalar (nazhar) teori ilmiah tentang apa sebenarnya takwa itu. 7. Tradisi Menghafal Menghafal adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran. Caranya dimulai dengan belajar mata teks kitab, memberi arti pada teks, memahaminya dengan benar, dan kemudian menghafalnya diluar kepala. Metode menghafal ini dilakukan umumnya pada meteri tingkat dasar yang terdapat dalam kitab-kitab materi pokok atau yang lebih dikenal dengan matan. 8. Tradisi Berpolitik Berkiprah dalam bidang politik dalam arti teori dan praktek juga menjadi salah satu tradisi dikalangan dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926 yang selanjutnya pernah berubah menjadi salah satu partai politik yang ikut pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an menunjukkan kuatnya tradisi berpolitik dikalangan pesantren. 9. Tradisi Lainnya Tradisi lainnya yang dipraktekkan dipesantren yang lebih bersifat sosial keagamaan adalah tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka menghsilkan keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak lagi. B. TANTANGAN ERA GLOBALISASI BAGI DUNIA PESANTREN Menurut Azyumardi Azra, bahwa Globalisasi bukanlah fenomena baru bagi masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya, Pembentukan dan Perkembangan masyarakat Muslim Indonesia bahkan bersamaan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu ke waktu. Sumber Globalisasi itu adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula Makkah dan Madinah, dan sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga Kairo. Selain itu, globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas, Globalisasi secara istilah berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia. Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang demikian adanya, dunia pesantren sudah memiliki pengalaman yang panjang dan kaya yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Dalam Menghadapi Kemajuan IPTEK Secara historis, pesantren pada mulanya mengosentrasikan diri pada tiga fungsi utama, yaitu: 1. Mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat luas; 2. Mencetak para ulama; 3. Menanamkan tradisi Islam ke dalam masyarakat Dalam menghadapi arus globalisasi, Pesantren melakukan inovasi terhadap kurikulum dan kelembagaan pendidikannya, mulai dari yang bercorak tafaqquh fi al-din system salafiah yang berbasis kitab kuning, hingga pada Madrasah diniyah, Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, sekolah umum, sekolah kejuruan, akademi, sekolah tinggi, institut, hingga universitas. Berbagai inovasi ini sudah ada di dalam dunia Pesantren . Dengan adanya program yang demikian,maka lulusan pesantren kini tidak hanya menguasai ilmu agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu modern, ilmu terapan, keterampilan, penguasaan, teknologi modern, dan penguasaan terhadap isu-isu kontemporer, dengan tidak meninggalkan tradisi utamanya sebagai sebuah Pondok Pesantren. Menurut Dawam Rahardjo, bahwa pesantren dan madrasah saat ini dianggap sebagai The Centre of Excellent , karena di sambut positif oleh masyarakat modern, dan dianggap sebagai bagian dari hidupnya. Merka merasa lebih mantap putra-putrinya ke madrasah pesantren.Kini madrasah dianggap sebagai sekolah Plus, karena selain memberikan pengetahuan umun, juga mengutamakan penanaman ajaran keagamaan yang tidak terbatas pada ranah kognitif, tetapi juga masuk pada ranah etika, moral, dan tingkah laku. Dengan demikian, maka pesantren tidak akan di tinggalkan. 2. Dalam Menghadapi Budaya Barat Dalam menghadapi budaya Barat yang Hedonistik, materialistik, pragmatis, dan sekularistik yang berdampak pada dekadensi moral, dunia pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter bangsa. Secara garis besar, ada tuga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap istiqomah dan konsisten dalam melaksanakan misinya, yaitu nilai, sistem, dan materi pendidikan pondok pesantren. Aspek Pertama, nilai-nilai keislaman dan pendidikan jiwa, falsafah hidup santri, yaitu, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah. Aspek Kedua, sistem asrama yang penuh disiplin dan tercipta dari pusat pendidikan : sekolah, keluarga, dan masyarakat. Aspek Ketiga, adalah materi ilmu agama dan ilmu kauniyah. Ketiganya dapat berubah sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan zaman, akan tetapi nilai-nilai yang merupakan roh atau jiwa tidak berubah. 3. Dalam Menghadapi Tuduhan Miring Dalam dua dekade terakhir muncul tuduhan miring dari Barat terhadap Pesantren. Misalnya mengaitkan Pesantren sebagai tempat melakukan kaderisasi para teroris atau kaum radikalis yang sering meresahkan masyarakat luas, mengganggu stabilitas Nasional dan menimbulakn citra negatif terhadap Pesantren dan Negara Indonesi secara umumnya.Tuduhan miring tersebut sama sekali tidak memiliki fakta atau bukti yang tepat serta data yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Fakta yang ada bahwa di kalangan para kyai pimpinan pondok Pesantren , seperti K.H.Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan yang lainnya telah tumbuh pada mereka semangat nasionalisme yang kuat yang di buktikan dengan keikutsertaan mereka dalam membebaskan Indonsia dari cengkraman kekejaman penjajah. 4. Dalam Mengembangkan Ilmu Agama Sejak kelahirannya, Pesantren senantiasa menjadi tumpuan masyarakat untuk memperoleh jawaban atas berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kaitannya dengan permasalahn serta ajaran agama. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi, dan banyak permasalahan kontemporer yang tumbuh di masyarakat, dunia pesantren melalui tokoh utamanya para kyai harus memberikan jawaban dan respon yang cepat, tepat, dan tuntas.   BAB III PENUTUP • KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pesantren sekurang-kurangnya memiliki sembilan tradisi yang melekat padanya, yaitu : - Rihlah ilmiah; - Menulis kitab; - Melakukan penelitian; - Membaca kitab kuning; - Berbahasa Arab; - Mengamalkan ajaran Thariqat; - Menghafal mata pelajaran; - Berpolitik; dan - Tradisi yang bersifat sosial keagamaan dan kemasyarakatan. Kedua, Dengan tradisi yang telah dijelaskan pada poit pertama,pesantren tidak hanya mampu menjalankan misi utamanya, seeperti melahirkan ulama, memasyarakatkan ajaran Islam dan menanamkan tradisi Islam, juga menyebabkan pesantren tetap eksis dan bertahan hingga detik ini.Melalui para lulusannya yang memiliki karakter yang demikian, keberadaan pesantren telah mewarnai kehidupan sosio kultural dan keagamaan masyarakat. Ketiga, Dengan tradisi yang demikian, pesantren di era globalisasi seperti sekarang ini ternyata semakin menunjukkan peran dan fungsinya yang makin dirasakan oleh masyarakat. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan dalam penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, telah di jawab oleh pesantren dengan melakukan pengembangan kurikulum dan membuka program pendidikan yang makin variatif serta membentuk lembaga yang memberikan kemampuan pesantren menjawab isu-isu kontemporer. Selanjutnya era globalisasi yang menimbulkan tantangan di bidang budaya asing telah di jawab oleh pesantren dengan menyelenggarakan pendidikan karakter yang efektif yang berbasis pada Thariqat dan Tasawuf. Selanjutnya tantangan globalisasi berupa tuduhan miring, telah dijawab oleh pesantren dengan mengedepankan semangat Nasionalisme. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Syukri Zarkasyi. 2005 Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Abudin Nata. 2001. studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media. Ali Maschan Moesa. 2007. Nasionalisme Kyai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS. Azyumardi Azra. 1999. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ______________. 2009. Pendidikan Islam di Era GlobalisasI. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ismail SM dkk. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. 1980. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:Gramedia. W.J.S.poerwadarminta. 1980. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Kisah SERI TELADAN HUMOR SUFISTIK BERBOHONG ITU NIKMAT

SERI TELADAN HUMOR SUFISTIK BERBOHONG ITU NIKMAT “ Dan jika kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaknya kamu menghukum dengan adil.” ( Alquran-An-Nisa: 58) Dikisahkan kalau khalifah Mansyur telah memutuskan untuk mengangkat salah seorang dari empat syekh sufi untuk menduduki jabatan Hakim Agung kerajaan. Oleh karena itu keempat orang syekh diundang ke istana untuk dimintai kesanggupannya. Keempat syekh itu adalah : Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Misar, dan Syuraih. Sebelum mereka tiba di istana, mereka telah membuat rencana tersendiri. Abu Hanifah salah seorang dari empat ulama ahli hukum, berkata, “Aku akan lari dari kedudukan tersebut dengan pengelakkan. Misar akan berpura-pura gila. Sufyan akan melarikan diri dan aku perkirakan Syuraih lah yang akan menjadi hakim.” Benar, Sufyan mengikuti rencana itu. Ia pergi dan menghilang entah kemana. Dia kemudian dinyatakan buron dan terhukum karena dinilai tidak setia pada khalifah. Maka tinggal tiga orang menghadap khlaifah. Yang pertama, khalifah Mansyur berkata kepada Abu Hanifah,” Engkau akan aku tunjuk menjadi hakim.” Abu Hanifah menjawab,” Wahai pemimpin umat, akan tidak mungkin itu bagiku. Aku bukan keturunan Arab, dan karena itulah aku tidak akan bisa diterima oleh orang-orang Arab.” Kahalifah menjawab, “ Ini tidak ada kaitannya dengan darah dan keturunan. Kita membutuhkan seorang tokoh yang dapat menjadi contoh. Dan engkau seorang ulama dan ahli hukum yang paling dihormati saat ini.” Abu Hanifah bersikeras menolak, “ jika kata-kataku benar, aku tidak bisa menjadi hakim. Dan jika mereka salah, aku tidak pantas menduduki jabatan itu. Karena itu, aku tidak memenuhi persyaratan.” Lalu Abu Hanifah menjelaskan alasan penolakan itu hingga akhirnya baginda khalifah pun menerima alasan keberatannya. Sementara itu Misar, tidak suka dengan kedudukan. Dia kemudian mendekati khalifah seraya menangis dan mencium tangannya, seraya berkata,” Apakah engkau baik-baik saja? Engkau dan si kecil dan juga ternakmu?” “ Seret dia dari pandangan saya!” teriak khalifaah, “ Dia benar-benar sudah gila,” bentak khalifah, marah. Akhirnya tinggal giliran Syuraih, yang berpura-pura sakit. Tapi sial, muslihatnya gagal karena khalifah Mansyur mmalah menyuruh para pembantunya mencari tabib untuk mengobatinya. Maka jadilah Syuraih seorang Hakim yang Agung. Things to Think .......??????? Ada apa dengan profesi menjadi hakim ?Kenapa mereka menjauh jabatan tersebut ? Bukan kah jabatan hakimdi negeri kita banyak di perlukan orang? kita jadi teringat dengan kasus yang mencuat menyinggung soal jaksa Agung yang kekayaannya berlimpah ruah. Harga salah satu rumahnya mencapai 1,6 Milyar. Disebuah media massa di tuliskan kalau keuangannya di pasok oleah salah seorang makelar perkara. Makelar mirip dengan peradilan agama. mereka melakukan jual beli perkara dengan para hakim dan jaksa untuk dapat menenagkan/ mengalahkan perkara itu di peradilan. Sehingga masyarakat dapat meraskan tidak adanya keadilan, kepastian dan kekuatan hukum. Hukum hanya main-main saja. Kasasi, banding, grasi adalah dagelan hukum ala Indonesia hingga era presiden yang sekarang. Jika keadilan jadi komoditi yang di perjualbelikan, maka terjadi kerusakan moral dan kerugian yang di derita Negara. Sehingga kasus hukum menyangkut para pejabat, konglomerat, dan oraang kaya tidak pernah selesai. Huku tegas berkenaan dengan kasus yang menimpa orang kecil. Sehingga berkembang ungkapan Hukum di indoneisa hanya milik orang-orang berduit. Orang yang mengemplang (menggelapkan) uang Negara triliyunan rupiah dapat lolos dengan menyuap mafia peradilan milyaran rupiah. Akibat Negara harus di rugikan dan rakyat harus menanggungnya. Semboyan para hakim menyatakan” Langit hukum harus ditegakkan meski besok pagi akan runtuh ” hanyalah selogan kosong. Logo dan ikon lembaga kehakiman yang di tandai dengan wanita dengan mata tertutup di India wanita itu hanya mengenakan selembar kain yang menutup harga dirinya, dan memegang timbangan pada tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ternyata tak bertuah. Ikon yang mengandung pesan tidak pandang bulu, dan tebas habis yang salah, tidak dapat ditegakkan kerna uang telah membuka tutup matanya, dan pedangnya tumpul karena terantuk uang menyedihkan. Taufik ismali dalam puisinya yang berjudul “Aku Malu Jadi Orang Indonesia” menagtakan : “ Langit dan sendi akhlak di negeri ini sudah berserak-serak, sudah runtuh, tidak ada lagi.” Karena korupsi sudah menjadi kanker menjalar di semua liku kehidupan. Bahkan, maaf menurut salah seorang mubaligh dikatakan, disebuah departemen mesti menjadi contoh karena banyak “santri “nya korupsinnya tidak ketulungan ( baca teramat: banyak parah). Lalu kepada siapa bila para hakim tidak dapat lagi diandalkan menjadi soko guru dan tiang penyanggah tegaknya keadilan? Jawabanya tentu ada pada diri kita, pada keluarga ita, pada lingkungan kita. Artinya gerakan sadar moral dan hkum harus di mulai dari diri kita, tanpa harus mengharap orang lain. Jadi mirip dengan ungkapan Rasulullah SAW,” Ibda’binafsik, mulailah dengan diri anda sendiri. Hukum sebagai pilar utama untuk membangun Negara yang demokratis adalah sebuah keharusan. A.Dicey mengatakan, “ Negara demokratis akan tegak bila ada kepastian hukum, peradilan yang indenpenden, pembagian kekuasaan, dan prosedur penyelesaian masalah yang fair.” Para hakim adalah orang yang menjaga tegaknya moral, sehingga mereka haruslah orang-orang yang bersih tidak terlibat kasus suap, briber atau Riswah. “ Nabi bersabda, para penyuap dan yang menyuap tempatnya adalah di neraka.” Di ceriatakan oleh M. Gibbon, sejarawan yang menulis buku “ The Decline and The Fall Of Rome,” menagatakan apa sih kurang hebatnya romawi ? sebuah negeri dengan imperium yang sanagt kuat. Tapi kenapa hancur ? Tentang hukum, bukankah negeri ini paling pintar membuat hukum ? bahkan hukum modern barat banyak diwarisi oleh kekayaan (legacy) hukum Romawi.” “ Tapi,” kata Gibbon, “yang membuat hancur Romawi adalah hukum yang tidak di patuhi, hukum yang dipermainkan. Hukum yang dijadikan komoditi. Hukum yang diperjualbelikan. KESIMPULAN Berdasarkan cerita tersebut dapat diambil kesimpilan bahwa dalam menjadi hakim merupakan tanggung jawab yang berat yang harus dikerjakan dengan benar dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi. Sehingga ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan pendidikanyaitu : • Jabatan menjadi hakim adalah amanat yang berat, karena menyangkut masalah memutuskan perkara. • Bila saja ia membuat sebuah kesalahan dalam memutuskan perkara, maka yang terjadi adalah tindak kezaliman kepada yang di rugikan. • Barang siapa merugikan orang lain sesungguhnya dia sedang memasukkan api neraka kedalam perutnya. • Para hakim haruslah berusaha menjadi contoh dan teladan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran di Negara ini. Jabatan yang di pangkunya hendaknya dimanfaatkan sebagai sarana pengabdian dan ibadah, karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. DAFTAR PUSTAKA Sulaiman, Tasirun, Seri Teladan Humor Sufistik; Berbohong itu Nikmat, Jakarta: Erlangga,2005.

Contoh Piagam Penghargaan Dan Ucapan Terima Kasih

Piagam Penghargaan Dan Ucapan Terima Kasih Kepada: AHMAD FIRDAUS Sebagai Peserta Kukerta Stai Auliaurrasyidin Tembilahan Angkatan Ke – X Di Kelurahan Pusaran Kecamata Enok Tahun 2013 MENGETAHUI KEPALA CAMAT ENOK KEPALA LURAH PUSARAN H. M. Syatir Hasan Gunadi, S.PKP NIP. 19581016 198010 1 001 NIP. 19600513 1989 03 1 007

Contoh PROGRAM KERJA MAHASISWA KUKERTA STAI AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN TAHUN AKADEMIK 2012/2013

PROGRAM KERJA MAHASISWA KUKERTA STAI AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN TAHUN AKADEMIK 2012/2013 Kelurahan : Pusaran Kecamatan/Kabupaten : Enok/Indragiri Hilir NO BULAN / MINGGU KE- Bulan I (Pertama) Bulan II (Kedua) KETERANGAN NAMA PROGRAM 1 2 3 4 1 2 3 4 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) I BIDANG AGAMA (NON FISIK) 1. Pengajian Anak-anak ( iqra’ dan AL-Qur’an ) X X X X X 2. Pengajian Ibu-Ibu X X X X X 3. Pengajian Bapak-bapak X X X X X 4. Berzanji X X X X X 5. Mu’azin / Bilal X X X X X 6. Mengisi Khutbah Jum’at X X X 7. Peringatan Isra’ Mi’raj (PHBI) X X 8. Nisfu Sya’ban X 9. Mengajar/Praktek shalat X X X 10. Tadarus Al-Qur’an di mesjid X X X X 11. Kultum Ramadhan X X X X 12. Buka Bersama X X 13. Mengadakan Peringatan Nuzulul Qur’an X 14. Imam dan Bilal Shalat Tarawih X X X 15. Pengadaan Tikar Mesjid X 16. Pengadaan Al-Qur’an dan Buku-Buku agama X 17. Tarhib Ramadhan X 18. Pesantren Kilat Ramadhan X X X X 19. Pengajian Salawat X X 19. Mengisi Azan dan Imam Shalat Fardhu X X X X X X X X II BIDANG SARANA DAN PRASARANA (FISIK) 1. Rehabilitasi mesjid X 2. Pengecatan/pengapuran mesjid/surau X 3. Rehabilitasi Tempat wudhu X 4. Membuat struktur bagan kelurahan X III BIDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DESA 1. Membantu administrasi kelurahan X 2. Membuat monografi Desa/kelurahan X 3. Penyusunan/pengarsipan data X X X IV BIDANG PENDIDIKAN, SOSIAL DAN BUDAYA 1. Mengadakan pertandingan menu cipta empat sehat lima sempurna X 2. Pendidikan Formal : Mengawas ujian X X 3. Pendidikan Formal : Memberikan pengajaran di sekolah MI, SD dan Mts X X X X 4. Pendidikan non formal seperti Kursus Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan kursus seni membaca Al-Qur’an X X X X X 5. Menggiatkan/mengadakan kepramukaan X 6. Mengadakan Pertandingan Cerdas Cermat,Azan,Salawat Nabi dan Pildacil X 7. Bimbingan belajar X X X X X 8. Perlombaan Azan, ayat-ayat pendek dan lagu kebangsaan (Classmiting) X 9. Menonton video pendidikan X V BIDANG SANITASI DAN KESEHATAN 1. Pelaksanaan Kebersihan Lingkungan Kelurahan X 2. Posyandu/Penimbangan Balita X X 3. Pelaksanaan Jum’at Bersih X X X VI BIDANG OLAHRAGA 1. Volly Ball X 2. Sepak Takraw X 3. Tenis Meja X X 4. Senam Riau Sehat X X X Pusaran, 09 Juni 2013 Mengetahui / Menyetujui Menyetujui : Peserta KUKERTA STAI Auliaurrasyidin Tembilahan No Nama Mahaiswa NIRM Program Studi (1) (2) (3) (4) 1 Ahmad Firdaus 1209.10.05844 PAI. S1 2 M. Baihaki 1209.10.06191 PGMI. S1 3 Isro’i 1209.10.06226 PGMI. S1 4 Diana 1209.10.06056 PAI. S1 5 Dwi Puji Astuti 1209.10.05971 PAI. S1 6 Eva Nikmatul. Nur 1209.10.05894 PAI. S1 7 Ria Puspita Sari 1209.11.06457 PAI. S1 8 Tarmizi 1209.10.05921 PAI. S1 9 Titi Qolbi 1209.10.06042 PAI. S1 Kades Pusaran Dosen Pembimbing GUNADI, S.PKP FAHRINA YLW, S.H.I., M.Pd.I NIP. 19600513 198903 1 007
Daftar Nama lokal B V Yang menyerahkan tugas Mata Pelajaran Metodologi Pembelajaran PAI Dosen Pengampu Drs.H.M.Ilyas,M.A. No Nama Judul Pembahasan Dalam RPP Sekolah/semester/Kelas Ket 1 Aminuddin Makanan dan minuman yang haram MTs/Genap/VIII 2 Abd Hamid Beriman Kepada hari Akhir Mts/ 3 Ani Kamsuryani Ketentuan Pembagian Suami dan Istri 4 Ardiansyah Hukum Bacaan Nun Sukun Atau Tanwin Atau Mendiskripsikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW MTs/Ganjil/VII 5 Darwin Pokok Poko Ajaran Al-Qur’an 6 Evaliani Baer Iman Kepada ALLAH MTs 7 Hamsiah Beriman kepada Qada dan Qadar Allah MTs/ 8 Hendra Pembagian Air MTs/Genap/II 9 Iza Zuzana Iman Kepada Kitab – Kitab Allah MTs/ 10 Kurnia sari Teorima Sisa MA/Ganjil/XI 11 Maya Sari Puasa Sunnah MTs 12 Maisari Infaq Harta Diluar Zakat MTs/ 13 Maryana Hal – Hal yang membatal kan puasa Mts/Genap/ganjil 15 Mua’iqin Mukjizat MTs 16 M.Iqbal Sifat Terpuji Mts/ 17 Nurdin Haji dan Umrah dan Hikmahnya MA 18 Nurfadhila Tayamum MTs 19 Nurlela Menghindari Akhlak Tercela 20 Riki Kurniawati Sabar SMP 21 Ria Irawan 22 Rita Kencana Fi’il(Bahasa Arab) 23 Rita Herlinda Adab Pergaulan Sesama Muslim dan Sesama Manusia MA 24 Siti Nurhayati Memahami Sifat – sifat Rasul Rasul Allah MTs/Ganjil/VII 25 Siti Rahmah Menjelaskan Pengertian Ulul Azmi MTs 26 Surfenaka Sifat Sifat Allah 27 Sahroni Akhlak Terpuji Pada Allah 27 Sahril Cara Mengingat Imam yang Lupa dan Menggantikan Imam yang Batal MTs/Genap/VIII 28 Susi lawati Menjelaskan Al- Qur’an Sebagai Kitab suci yang terakhir MTs/Genap/II 28 Sukmawati Membiasakan Prilaku Terpuji 29 Sepnasari Zakat Fitrah MTs 30 Syahrudin 31 Topik Setiawan Qurban Mts/Ganjil/VII 32 Winda Massari Hadia MTs/ 33 Yusma Binatang yang Halal dan Haram MTs Kosma Dosen Pengampu Aminuddin Drs.H.M.Ilyas,M.A

SERAMBI DEPAN MAKAM SYEH QURO KARAWANG

http://www.pelitakarawang.com/2010/04/masuk-islam-ke-tatar-sunda.html MASUK ISLAM KE TATAR SUNDA REDAKTUR : Yohanes Lee on Senin, 30 Juli 2012 | 7/30/2012 05:00:00 PM LEMAHABANG,PELITA KARAWANG-.COM-.BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten,DKI Jakarta, dan Jawa Barat.Maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. SERAMBI DEPAN MAKAM SYEH QURO KARAWANG Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang. Sampai saat ini,masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut.Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara). Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat memmbingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut. Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang.Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan. Sumber-sumber Sejarah SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan. Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnyadi sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan. Tokoh Cakrabuana BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyi Ratu Mas Rara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang. Cakrabuana (atau nama lain Walng Sungsang), Rara santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyi Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal. Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyi Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Sidiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di Karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Djati daerah gunung Djati (Syeikh Nur Djati). Setelah Syeikh Nurul Djati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Djati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah. Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14). Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyi Rara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyi Rara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samdullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyi Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datu Kahfi (Syeikh Idhofi). Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang-Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian darah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang-Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi. Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam. Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah mesjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, yaitu seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. generasi ke-17. Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyi Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyi Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki. Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Djati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membwa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon. Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrenan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyi Mas Larasantang dan Kian santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati). Ia dimakamkan di gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyaweran; Sunda) Sunan Gunung Djati. Tokoh Kian Santang SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman. Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya. Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat. Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh. Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya. Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syeikh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda. Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut. Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya. Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Rara Santang, dan Pangeran Kian Santang. Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India. Mula-mula Kian Santang mengIslamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran. Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya. Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut). Tokoh Syarif Hidayatullah SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir. Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati. Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana. Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46). Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana. Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa. Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta. Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean. Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Djati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu. Khatimah DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah. Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Djati dan Mualana Syarif Hdiyatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan. Daftar Pustaka •Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan. •Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera. •1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya. •Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara. •Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. •Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat. •Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka. Tulisan 2 : Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya. Di tatar Sunda, menurut naskah “Carita Parahiyangan” diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat. Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy. Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15. Dari Sunda Wiwitan ke Sunda Islam Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan. Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5). Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam. Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera. Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan. Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam. Madrais dan aliran perjalanan Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung. Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat. Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam. Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam. Perjumpaan Islam dengan tradisi Sunda Perjumpaan Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi Jawa—termasuk juga Sunda—sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah). Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun Saka) ke dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi sebagai titik awal tahun Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut, bulan pertama dalam kalender Jawa disamakan dengan bulan pertama kalender Islam yang sekarang menginjak tahun 1936 Saka (1424 H). Hal ini—menurut Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”—dimungkinkan dalam kehidupan beragama di Jawa, karena sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar. Meskipun kepercayan animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu ‘men-jawa-kan’ semuanya. Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh ‘penyesuaian’ juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi. Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas isya hingga menjelang subuh. Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren (pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar “kiai”. Gelar kiai ini semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi. Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun berkembang ajaran Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan diwarnai aspek-aspek mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi Hindu-Jawa yang tetap bertahan adalah kesaktian, praktik tapa, dan tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan orang-orang yang mencari kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran kebatinan. Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang bangun alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda dengan Islam. Di setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak Sunan Gunung Jati berkuasa (1479-1568) dibangun Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, di samping pasar, keraton, serta penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya sebagai bangunan pusat pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid (bale nyungcung) sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini mengisyaratkan adaptasi tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana Nyungcung (buana atas) dalam ajaran Sunda Wiwitan. Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda. Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam. Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan. Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil. Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi. Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat istiadat warisan budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa berbagai upacara tradisi itu adalah adat istiadat yang perlu tetap dilestarikan dan sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi ’sunah’, sebaliknya di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai oleh tradisi dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bidah.@YOHANES LEE.

Selasa, 10 Desember 2013

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Nama Madrasah              : SMA NEGERI 1 GAS
Mata Pelajaran                :Matematika         
Kelas / Semester               :XI(sebelas) /Ganjil          
Pertemuanke                    : 1 (SATU)
Alokas Waktu                  :1X15Menit         
Standar Kompetensi        :Memecah kan masalah yang berkaitandenganTeorimaSisa        
Kompetensi Dasar           :Menentukan sisa Pembagian suatu suku banyak oleh pembagi membentuk linier         

I.Tujuan pembelajaran:Setelah proses pembelajaran ini diharapka nsiswa mampu menentukan sisapem bagian dar iTeorima Sisadan Menyelesaikan Soal Teorima Sisa
II.Karekteristik siswa yang di harapkan :
                                           :disiplin    
                                           :Percayadiri
III.Indikator                     :siswamampu

IV.Materi Ajar                 : TeorimaSisa
V.Metode Pembelajaran :  Ceramah
                                           : Tanya jawab

VI.Kegiatan Pembelajaran
·         Kegiatanawal
-    Guru  menarik perhatian siswa
-   Guru member salam
-   Guru mengajak siswa berdoa dan menanyakan kabar siswa
-   Guru mengabsen siswa
-   Menanyakan kesiapan siswa untuk belajar
-   Motivasi
- Menimbulkan Rasingin Tahu
·         Kegiataninti
Eksplorasi
-          Peserta didik diberikan Materi oleh guru dan mereka mendengarkan serta menyimak penjelasan yang disampaikan oleh guru
-          Guru menggali pengetahuan siswa dengan cara bertanya tentang bertanya pelajaran yang akan diaajarkan
Elaborasi
-          Guru menjelaskan mengenai tentang teorima sisa
-          Guru menjelaskan soal tentang teorima sisa
Konfirmasi
-          Guru bertanya kepada siswa tentang hal yang belum diketahui dari Teori Teorima
·         Kegiatanakhir
-          Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan materi yang telah daijarkan
VII.Evaluasi
-          Guru memberikan latihan kepada siswa mengenai materi yang diajarkan
VII.SumberBelajar: Buku Matematika
Papan Tulis
Spidol
VIII.Penilaian                  :
Soal
1.Tentukan sisa pada pembagian Suku Banyak F(X)=X4_6X3-6X2+8X+6 Dibagi dengan X-2

Jawab
1.Metode Substitusi                                                            
F(x)=X4-6X3-6X2+8X+6 Dibagi Dengan X-2
F(2)=24-6(2)3+6(2)2+8(2)+6
F(2)=16-48-24+16+6= -34
Jadi, Sisa pembagiannya adalah S= -34
2.Metode bagan/ Skema
F(x)=X4-6X3-6X2+8X+6 Maka a4=1,a3= -6,a2= -6,a,=8 Dan a0=6
2  1    -6   -6   8    6
            +    +   +    +
           2    -8 -28 -40
    1   -4   -14 -20 -34 
Dari bagian diatas diproleh S= -34,Jadi sisa Pembagian  S = - 34.


Mahasiswa Praktek                                       Dosen Pengampu
    Kurnia Sari                                              Drs.H.M.Ilyas, M.A.